Saturday, 29 March 2014

Masjid Baiturrahman Sinergi Seni Nusantara



Saat ini, Masjid Baiturrahman menjalani pemugaran. Bagian yang ditambah dan dipugar berada di sisi selatan atau berhadapan langsung dengan jalan raya Tole Iskandar. Pada renovasi kali ini, kata Lamin, dananya berasal dari sumbangan masyarakat.

“Dananya terkumpul dari hasil donasi, kita membuka posko di depan masjid. Kita sengaja tidak membuat kotak di pinggir jalan karena menurut kami hal itu sangat mengganggu,” katanya.

Bangunan yang sedang digarap itu bakal difungsikan sebagai tempat wudhu dan tempat pengajian alquran (TPA).

Hidupkan ekonomi masyarakatTak sekadar menampilkan kemegahan, Masjid Baiturrahman mencoba pula berperan seperti masa Rasulullah SAW, yakni sebagai penggerak ekonomi umat.

Seperti dikatakan Lamin bin Nirun, sejak sepuluh tahun lalu pihaknya telah melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar. Bentuknya dengan memberikan bantuan modal usaha.

Besarannya antara Rp 500 ribu-Rp 1,5 juta. “Alhamdullilah sekarang ini sudah berjalan untuk 13 orang. Mereka menggunakannya untuk modal usaha berdagang warung maupun kelontongan,” katanya.

Pendanaan ini, kata Lamin, berasal dari zakat mal yang diberikan para muzakki—orang yang memberikan zakat. Biasanya, dana itu dikeluarkan menjelang Idul Fitri atau hari-hari tertentu. “Uang dari zakat mal ini kita pisahkan dari dana kas harian. Dari sanalah uang tersebut kami berikan untuk membantu warga sekitar kami,” kata Lamin.

Kriteria warga yang menerima bantuan, kata Lamin, tidak sembarangan. Salah satu yang diperhatikan adalah warga tersebut harus sering berjamaah di masjid. Selain itu, yang bersangkutan memiliki usaha yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. “Jadi, kita tidak memberikan (bantuan) kepada sembarang orang.”

Ke depan, pengelola masjid ini juga sudah merancang sebuah program pendanaan untuk membantu pendidikan anak yatim. Dananya berasal dari uang kotak tromol yang dijalankan setiap Ahad pagi.

Friday, 28 March 2014

Not Angka Lagu Kau Harusnya Memilih Aku - Terry

Not Angka Lagu Kau Harusnya Memilih Aku - Terry - Lagu ini direquest oleh salah satu orang yang telah mengikuti fanspage Not Angka lagu di facebook. Lagu ini cukup terkenal akhir - akhir ini. Bagi yang ingin mencoba not angkanya di alat musik silahkan lihat dibawah ini.


Silahkan dicoba - Not Angka Lagu Kau Harusnya Memilih Aku - Terry

Wednesday, 26 March 2014

Kata kata Motivasi Terbaru + Video Motivasi Hidup


Kata kata Motivasi Terbaru + Video Inspirasi Hidup
Orang bijak adalah orang yang selalu belajar dari kegagalannya sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang selalu menutupi kegagalannya.
Kebanyakan orang gagal adalah orang yang tidak menyadari betapa dekatnya mereka ke titik sukses saat mereka memutuskan untuk menyerah.
Orang sukses takkan pernah mengeluh bagaimana kalau akan gagal,namun berusaha bagaimana untuk berhasil.
Jangan sesali apa yang telah terjadi kemarin, tapi jika kamu tak mampu menjadi lebih baik hari ini, kamu patut menyesali.
Kebahagiaanmu tidak ditentukan oleh orang lain, tapi oleh dirimu sendiri. Apa yang kamu lakukan hari ini, tentukan bahagia masa depanmu.
Salah satu hal tersulit dalam hidup adalah tetap menjadi dirimu sendiri ketika semua orang berusaha mengubahmu menjadi orang lain.
Kamu tak bisa kembali ke masa lalu dan mengubah sebuah awal yang buruk, namun kamu bisa membuat akhir yang indah, mulai saat ini!
Janganlah berdoa untuk hidup yang mudah, tetapi berdoalah untuk menjadi manusia yang tangguh.
Jangan terlalu bergantung pada orang lain. faktanya kamu lebih kuat dari apa yang kamu pikirkan, hanya kamu tidak mempercayainya.
Berbahagialah anda jika masih bisa merasa sedih karena itu artinya anda siap menerima kebahagiaan.
Jika sewaktu waktu kita jatuh bukan berarti tidak bisa bangun kembali, kecuali jika memang kita memilih menyerah.
Sumber : http://www.lokerseni.web.id/ 

Kata kata Motivasi Terbaru + Video Inspirasi Hidup 



Sumber :
https://www.youtube.com/user/TheEarlyrara

Saturday, 22 March 2014

Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah

Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Bendera Dinasti Fatimiyah

Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah | Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.

Dinasti Fathimiyah adalah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya pengutusan Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam, yang pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang dan saling menghormati.

Jikalau ditarik garis horizontal sejarah Islam, maka akan diketahuilah bahwa dari sekian banyak sejarah peradaban Islam yang termaktub dalam buku-buku sejarah peradaban banyak terjadi pertumpahan darah hanya demi menegak dan mempertahankan kepemimpinan. Maka adalah sangat janggal jika uraian makalah ini menganalisis persoalan sejarah dalam korelasi hubungannya terhadap konsepsi teologi, karena substansi pembahasan makalah ini, bukan untuk melihat sejarah masa lalu umat Islam yang mesti diapresiasikan oleh umat masa kini dalam rangka menakar dogma teologis ke arah yang lebih luas adan universal.

B. Fase pendirian Dinasti Fathimiyah.

Dinasti Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567H/1171 M yang pada awalnya hanya merupakan sebuah gerakan keagamaan yang berkedudukan di Afrika Utara, dan kemudian berpindah ke Mesir[3]. Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu. Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra binti Rasulullah SAW. Namun masalah nasab keturunan Fathimiyah ini masih dan terus menjadi perdebatan antara para sejarawan. Dari dulu hingga sekarang belum ada kata kesepakatan diantara para sejarawan mengenai nasab keturunan ini, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya ;

Pertama, pergolakan politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya Rasulullah SAW.

Kedua, ketidakberanian dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk mengiklankan nasab mereka, karena takut kepada penguasa, ditambah lagi penyembunyian nama-nama para pemimpin mereka sejak Muhammad bin Ismail hingga Ubaidillah al Mahdi.

Dinasti Fatimiyah beraliran syiah Ismailiyah dan didirikan oleh Sa’id bin Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di daerah ini mendapat sambutan baik, terutama dari suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi menumbangkan gurbernur Aglabiyah di Afrika, Rustamiyah Kharaji di Tahart, dan Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan.

Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.

Silsilah Kekhalifaan Fatimiyah

  • Al-Mahdi (909-934)
  • Al-Qa’im (934-946)
  • Al-Manshur (946-952)
  • Al-Mu’izz (952-975)
  • Al-Aziz (975-996)
  • Al-Hakim (996-1021)
  • Al-Zhahir (1021-1035)
  • Al-Mustanshir (1035-1094)
  • Al-Musta’li (1094-1101)
  • Al-Amir (1101-1130)
  • Al-Hafizth (1130-1149)
  • Al-Zafir (1149-1154)
  • Al-Fa’iz (1154-1160)
  • Al-Adhid (1160-1171)

Pasca kematian Abdullah ibn Maimun, tampuk pimpinan dijabat oleh Abu Abdullah al-Husain, melalui propagandanya ia mampu menarik simpati suku Khitamah dari kalangan Berber yang bermukim didaerah Kagbyle untuk menjadi pengikut setia. Dengan kekuatan ini, mereka menyeberang ke Afrika Utara dan berhasil mengalahkan pasukan Ziyadat Allah selaku Penguasa Afrika Utara saat itu.

Syi’ah Islamiyah mulai menampakkan kekuatannya setelah tampuk Pemerintahan dijabat oleh Sa’id ibn Husain al-Islamiyah yang menggantikan Abu Abdullah al-Husain. Di bawah kepemimpinannya, Syi’ah Islamiyah berhasil menaklukkan Tunisia sebagai pusat kekusaan daulah Aglabiyah pada tahun 909 M. Said memproklamasikan dirinya sebagai imam dengan gelar Ubaidillaj al Mahdi.

Sa’id mengaku dirinya sebagai putera Muhammad al-Habib seorang cucu imam Islamiyah. Namun kalangan Sunni berpendapat bahwa Sa’id berasal dari keturunan Yahudi sehingga dinasti yang didirikannya pada awalnya disebut dinasti Ubaidillah. Sementara Ibn Khaldun, Ibn al-Asir dan Philip K. Hitti berpendapat bahwa Sa’id memang berasal dari garis keturunan Fatimah puteri Nabi Muhammad SAW, yang bersambung garis keturunannya hingga Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Ubaidillah merupakan khalifah pertama daulah Fatimiyah. Ia memerintah selama lebih kurang 25 tahun (904-934 M). Dalam masa pemerintahannya, al-Mahdi melakukan perluasan wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika, meliputi Maroko, Mesir, Multa, Alexandria, Sardania, Corsica, dan balerick. Pada 904 M, Kahalifah al-Mahdi mendirikan kota baru dipantai Tunisia yang diberi nama kota Mahdiyah yang didirikan sebagai ibukota pemerintahan

Di Afrika Utara kekuasaan mereka segera menjadi besar. Pada tahun 909 mereka dapat menguasai dinasti Rustamiyah dan Tahert serta menyerang bani Idris di Maroko. Pekerjaan daulah Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan ummat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah binti Rasulullah dan istri dari Ali bin Abu Muthalib.

Daulah Fatimiyah memasuki era kejayaan pada masa pemerintahan Abu Tamin Ma’Abu Daud yang bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz behasil menaklukkan Mesir dan memindahkan pemerintahan ke Mesir. Pada masa ini rakyat merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera dengan kebijakan-kebijakan untuk mensejahterakan rakyatnya. Indikatornya adalah banyaknya bangunan fisik seperti Mesjid, Rumah sakit, Penginapan, jalan utama yang dilengkapi lampu dan pusat perbelanjaan. Pada masa ini pula berkembang berbagai jenis perusahaan dan kerajinan seperti tenunan, kermik, perhiasan emas, dan perak, peralatan kaca, ramuan, obat-obatan.

Kesuksesan lainnya adalah dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Besarnya minat masyarakat kepada ilmu pengetahuan mendapat dukungan penguasa dengan membangun Dar al-Hikmah pada tahun 1005 M dan perguruan tinggi al-Azhar (yang sebelumnya adalah bangunan masjid), yang mengajarkan ilmu kedokteran, Fiqh, Tauhid, Al-Bayan, Bahasa Arab, Mantiq, dan sebagainya.

C. Perkembangan dan kemajuan Dinasti Fatimiyah.

Pada masa pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama dipandang sebagai pilar utama dalam menegakkan daulah/negara. Untuk itu, pemerintah Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat meskipun mereka berstatus sebagai warga negara kelas dua seperti orang Yahudi, Nasrani, Turki, Sudan.

Menurut K.Ali, mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh perhatian terhadap urusan agama non muslim sehingga orang-orang Kristen Kopti Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan selain dari pemerintahan Muslim. Banyak orang Kristen, seperti al-Barmaki, yang diangkat jadi pejabat pemerintah dan rumah ibadah mereka dipugar oleh pemerintah.

Akan tetapi, Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap orang Kristen tidak urung menimbulkan isu negatif. Al-Mu’iz yang dikenal dengan kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, mati sebagai orang Kristen dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir kuno. Namun, menurut Hasan, isu tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan yang menyebutkan seperti itu, dan hanya cerita karangan (Khurafat) yang sengaja dienduskan oleh orang-orang yang tidak senang kepadanya termasuk dari sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang sengaja ingin melemahkan kekuatan Fatimiyah.

Sementara itu, agama yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam, menurut pemahaman Syi’ah Islamiyah yang ditetapkan sebagai mazhab negara. Untuk itu, para missionaris daulah Fatimiyah sangat gencar mengembangkan ajaran tersebut dan berhasil meraih pengikut yang banyak sehingga masa kekuasaan daulah Fatimiyah dipandang sebagai era kebangkitan dan kemajuan mazhab Islamiyah.

Meskipun para Khalifah berjiwa moderat, akan tetapi terhadap orang yang tidak mau mengakui ajaran Syi’ah Islamiyah langsung dihukum bunuh. Pada tahun 391 H khalifah al-Hakim membunuh seorang laki-laki yang tidak mau mengakui keutamaan/fadhilah Ali bin Abi Thalib, dan di tahun 395 H, al-Hakim juga memerintahkan agar di mesjid, pasar dan jalan-jalan ditempelkan tulisan yang mencela para sahabat.

Jelasnya peranan agama sangat diperhatikan sekali oleh penguasa untuk tujuan mempertahankan kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah Fatimiyah terhadap orang yang tidak mau mengakui mazhab Isma’iliyah dapat berupa apabila sikap seperti dapat berakibat munculnya instabilitas negara. Al-Hakim misalnya, agar terjalin hubungan yang baik dengan rakyatnya yang berpaham sunni, al-Hakim mulai bersikap lunak dengan menetapkan larangan mencela sahabat khususnya khalifah Abu Bakar dan Umar. Al-Hakim juga membangun sebuah madrasah yang khusus mengajarkan paham sunni, memberikan bantuan buku-buku bermutu sehingga warga Syi’ah ketika merasa senang sebab merasakan tengah hidup dikawasan sunni.

Sikap yang diambil para khalifah Fatimiyah tidak sekejam yang dilakukan Abdullah al-Saffah yang berusaha mengikis habis siapa-siapa pengikut Bani Ummayyah di awal masa kekuasaannya. Dalam hal ini para khalifah Fatimiyah memberlakukan masyarakat secara sama selama mereka bersedia mengikuti ajaran Syi’ah Isma’iliyah yang merupakan madzhab negara.

Ketidak senangan khalifah Fatimiyah kepada Abbasiyah tidak menunjukkan dalam bentuk kekerasan. Hanya saja, Khalifah Fatimiyah melarang menyebut-nyebut bani Abbasiyah dalam setiap khutbah jum’at dan mengharamkan pemakain jubah hitam serta atribut bani Abbasiyah lainnya. Pakaian yang dipakai untuk khutbah adalah berwarna putih.

Meskipun al-Mu’iz menuntaskan pemberontakan, akan tetapi ia akan selalu menempuh jalan damai terhadap pera pemimpin dengan Gubernur dengan menjanjikan penghargaan kepada yang bersedia menunjukkan loyalitasnya. Banyak diantara para Gubernur yang bersedia mengikuti mazhab Isma’iliyah, padahal mereka sebelumnya adalah Gubernur yang diangkat khalifah Abbasiyah. Sikap mereka ini juga dilakukan oleh penganut Yahudi dan Nasrani. Mereka bersedia masuk Islam dan menganut mazhab Isma’iliyah ketika mereka ditawarkan memegang jabatan tertentu didalam pemerintahan.

Tindakan tegas dalam bentuk pemberian hukum bunuh baru dilakukan terhadap orang yang menolak paham Isma’iliyah. Hanya satu peristiwa yang diambil tindakan tegas terhadap orang yang tidak mau mengikuti faham Isma’iliyah, yaitu ketika raja muda Zarida di Afrika yang bernama Mu’iz ibn Badis menghina dinasti Fatimiyah dengan tidak menyebut-nyebut nama khalifah Fatimiyah al-Muntasir pada saat khutbah jum’at melainkan menyebut-nyebut nama khalifah Abbasiyah. Tidak diambinya tindakan tegas dikarenakan al-Muntasir lebih tertarik pada pemberontakan Al-Bassasiri terhadap pemerintahaan Abbasiyah. Momen ini dinilai al-Muntasir sebgai kesempatan untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Asia Barat setelah Tughril menegakkan kekuasaan Abbasiyah di wilayah itu.

Dalam bidang administrasi pemerintahan tidak benyak berubah. Sistem administrasi yang dikembangkan khalifah Abbasiyah masih tyerus saja dipraktekkan. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun dalam urusan spritual. Ia berwenang mengangkat sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya. Selain itu sakralisasi khalifah yang muncul di masa pemerintahan Abbasiyah masih tetap dipertahankan yang indikatornya dapat dilihat dari gelar yang disandang para khalifah Fatimiyah seperti al-Mu’iz dinillah, al-Aziz billah, al-Hakim bin Amrullah dan sebagainya.

Ada tiga hal yang dapat disoroti mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Fatimiyah berkuasa yakni :
Kemajuan Administrasi Pemerintahan

pengelolaan negara yang dilakukan Dinasti Fatimiyah ialah denganmengangkat para menteri. Dinasti Fatimiyah membagi kementrian menjadi dua kelompok. Pertama kelompok militer yang terdiri dari tiga jabatan pokok


  • Pejabat militer dan pengawal khalifah
  • Petugas keamanan
  • Resimen-resimen


yang kedua adalah kelompk sipil yang terdiri atas


  • Qadhi (Hakim dan direktur percetakan uang)
  • Ketua Dakwah yang memimpin pengajian
  • Inspektur pasar (pengawas pasar, jalan, timbangan dan takaran)
  • Bendaharawan negara (menangani Bait Maal
  • Kepala urusan rumah tangga raja
  • Petugas pembaca Al Qur'an, dan
  • Sekretaris berbagai Departemen


Selain pejabat pusat, disetiap daerah terdapat pejabat setingkat guberbur yang

diangkat oleh khalifah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Administrasi dikelola oleh pejabat setempat.
Penyebaran faham Syiah

Ketika Al Muiz berhasil menguasai Mesir, di kawasan ini berkembang empat madzhab Fikih : Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, sedangkan Al Muiz sendiri menganut madzhab Syiah. Dalam menyikapi hal ini Al Muiz mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan Syiah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulam Syiah sedangkan Sunni hanya menduduki jabatan rendahan. Pada tahun 973 M, semua jabatan di berbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh Syiah. Oleh karena itu sebagian pejabat Fathimiyah yang Sunni beralih ke Syiah supaya jabatannya meningkat. Disisi lain al Muiz membangun toleransi agama sehingga pemeluk agama lain seperti Kristen diperlakukan dengan baik dan diantara mereka diangkat menjadi pejabat istana.

Dari mesir Dinasti Fatimiyah tumbuh semakin luas sampai ke Palestina, dan kemudian propaganda Syiah Ismailiyah semakin tersebar luas melalui sebuah gerakan agen rahasia.
Perkembangan ilmu pengetahuan

dinasti Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Fatimiyah membangun masjid Al Azhar yang akhirnya di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga berdirilah Universitas Al Azhar yang nantinya menjadi salah satu perguruan Islam tertua yang dibanggakan oleh ulama Sunni. Al Hakim berhasil mendirikan Daar al Hikmah, perguruan Islam yang sejajar dengan lembaga pendidikan Kordova dan Baghdad. Perpustakaan Daar al Ulum digabungkann dengan Daar al Himmah yang berisi berbagai buku ilmu pengetahuan. Beberapa ulama yang muncul pada saat itu adalah sebagai berikut:

  • Muhammad al Tamimi (ahli Fisika dan Kedokteran)
  • Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat)
  • Al nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim)
  • Ali bin Yunus (ahli Astronomi)
  • Ali Al Hasan bin al Khaitami (ahli Fisika dan Optik)


Disamping itu kemajuan bangunan fisik sungguh luar biasa. Indikasi-indikasi kemajuan tersebut dapat diketahui dari banyaknya bangunan-bangunan yang dibangun berupa masjid-masjid, universitas, rumah sakit dan penginapan megah. Jalan-jalan utama dibangun dan dilengkapi dengan lampu warna-warni, dalam bidang industri telah dicapai kemajuan besar khususnya yang berkaitan dengan militer seperti alat-alat perang, kapal dan sebagainya.


D. Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah.

Sepanjang kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir

Senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Dibawah kekuasaannyalah dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya yang berbentang dari Atlantik hingga laut Merah, juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekkah, Damaskus, Bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasannya meliputi wilayah yang sangat luas.

Di bawah kekuasaannya kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Meditera Timur. Al-Aziz menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad berhasil ditaklukkan. Seperti pendahulunya ia melirik wilayah Spanyol, tetapi khalifah Kordova yang percaya diri itu ketika menerima surat yang pedas dari raja Fatimiyah memberikan balasan tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami karena kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan akan kau lakukan kami akan membalasnya”.

Bisa dikatakan bahwa diantara para khalifah Fatimiyah khalifah Al-Aziz adalah khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup di kota Kairo yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa mesjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal yang baru, serta memberikan toleransi yang terbatas kepada umat Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan prilakunya ini tidak pelak lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen “Isa ibn Nasthir” dan isterinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki dan pewarisnya, Al-Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerussalem.

Menurut Harun Nasution, dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang menunjukkan kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte syiah yang bernama Qaramithah (Carmatian) yang dibentuk oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad IX, menyerang Makkah pada tahun 951 M dan merampas Hajar Aswad dengan mencurinya selama dua puluh tahun. Hal ini disebabkan mereka meyakini bahwa hajar aswad adalah merupakan sumber takahayul. Gerakan ini menentang pemerintahan Pusat Bani Abbas, namun Hajar Aswad ini akhirnya dikembalikan oleh Bani Fathimiyah setelah didesak oleh kalifah Al Mansur pada tahun 951 M.


E. Masa Kemunduran dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah.

Gejala-gejala yang menunjukkan kemunduran dinasti Fatimiyah telah terlihat

Dipenghujung masa pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan adalah Fatimiyah pada masa pemerintahan al-Adid 567 H / 1171 M.

Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya daulah Fatimiyah dapat diklarifikasikan kepada faktor internal dan eksterna:
Faktor Internal

Faktor internal yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran daulah Fatimiyah adalah di karenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk melakukan ekspansi.

Selain itu, para khalifah kurang cakap dan memerintah sehingga roda pemerintahan tidak bejalan secara efektif, ketidak efektifan ini dikarenakan khalifah yang diangkat banyak yang masih berusia relatif muda sehingga kurang cakap dalm mengambil kebijakan . Tragisnya mereka ibarat boneka ditangan para wajir karena peranan wajir begitu dominan dalam mengatur pemerintahan.

Fenomena ini muncul pasca wafatnya al-Aziz, setelah al-Aziz wafat ia digantikan puternya bernama Abu Mansur al-Hakim yang pada saat pengangkatannya masih berusia 11 tahun. Kebijakan dalam pemerintahannya sangat tergantung kepada keputusan Gubernur bernama Barjawan yang meskipun pada akhirnya dihukum al-hakim karena penyalahgunaan kekuasaan.

Bukti lain ketidak cakapan khalifah adalah munculnya perlawanan orang Kristen terhadap penguasa. Perlawanan ini muncul dikarenakan orang Kristen tidak senang dengan maklumat al-Hakim yang dianggap menghilangkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Maklumat tersebut berisikan tiga alternatif pilihan yang berat bagi orang Kristen. Masuk Islam, atau meninggalkan tanah air, atau berkalung salib sebagai simbol kehancuran.

Setelah al-Hakim wafat, ia digantikan puteranya bernama Abu Hasyim Ali yang bergelar al-Zahir. Pada saat pengangkatannya al-Zahir masih berusia 16 tahun dan kebijakan pemerintahan berada ditangan bibinya bernama Siti al-Mulk, sepeninggalan bibinya al-Zahir menjadi raja boneka ditangan para wajirnya.

Pengangkatan khalifah dalam usia relatif muda masih terus berlanjut hingga masa akhir pemerintahan daulah Fatimiyah, bahkan khalifah ke tiga belas yang bernam al-Faiz dinobatkan pada saat masih balita nanun keburu meninggal dunia sebelum berusia dewasa. Sementara khalifah terakhir bernam al-Adid dinobatkan disaat berusia sembilan tahun.

Faktor lainnya diperparah oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau panjang sehingga sunagi Nil kering, menjadi sebab perang saudara. Setelah meninggal Abu Tamim Ma’ad al Muntashir diganti oleh anaknya al Musta’li. Akan tetapi Nizar, (anak Abu Tamim Ma’ad yang tertua) melarikan diri ke Iskandariyah dan menyatakan diri sebagai khalifah. Oleh sebab ini fatimiyah terpecah menjadi dua.

Selain itu, faktor internal lainnya sebagai penyebab kehancuran daulah Fatimiyah adalah persaingan dalam memperoleh jabatan dikalangan wajir. Pada masa al-Adid sebagai khalifah terakhir misalnya, terjadi persaingan antara Abu Sujak Syawar dan Dargam untuk merebutkan jabatan wajir yang akhirnya dimenangkan Dargam. Karena sakit hati, Syawar meminta bantuan Nur Al-Din al-Zanki untuk memulihkan kekuasannya di Mesir, jika berhasil ia berjanji untuk menyerahkan sepertiga hasil penerimaan negara kepadanya.

Tawaran ini diterima Nur al-Din, lalu ia mengutus pasukan dibawah pimpinan Syirkuh dan keponakannya Salah al-Din al-Ayyubi. Pasukan ini mampu mengalahkan Dargam sehingga Syawar kembali memangku jabatan wazir dan memenuhi janjinya kepada Nur al-Din.

Perebutan kekuasaan ditingkat wazir ini merupakan awal munculnya kekuasaan asing yang pada akhirnya mampu merebut kekuasaan dari tangan daulah Fatimiyah dan membentuk dinasti baru bernama Ayyubiyah.
Faktor Eksternal

Adapun faktor eksternal yang menjadi penyebab runruhnya daulah Fatimiyah adalah menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di Mesir. Nur al-Zanki adalah Gubernur Syiria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada saat ia mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan khalifah al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan tentara salib.

Dikarenakan rasa cemburunya kepada Syirkuh yang memiliki pengaruh kuat di istana dianggap sebagai saingan yang akan merebut kekuasaannya sebagai wazir, syawar melakukan perlawanan. Agar mampu menguat kekuasannya, Syawar meminta bantuan tentara Salabiyah dan menawarkan janji seperti yang dilakukannya terhadap Nural-Din.

Tawaran ini diterima King Almeric selaku panglima perang salib dan melihatnya sebagai suatu kesempatan untuk dapat menaklukkan Mesir. Pertempuran pun pecah di Pelusium dan pasukan Syirkuh dapat mengalahkan pasukan salib.Syawar sendiri dapat ditangkap dan dihukum bunuh dengan memenggal kepalanya atas perintah khalifah Fatimiyah.

Dengan kemenangan ini, maka Syirkuh dinobatkan menjadi wazir dan pada tahun

565 H / 1117 M. setelah Syirkuh wafat, jabatan wazir diserahkan kepada Salah al-Din Ayyubi. Selanjutnya Salah al-Din mengambil kekuasaan sebagai khalifah setelah al-Adid wafat. Dengan berkuasanya Salah al-Din, maka diumumkan bahwa kekuasaan daulah Fatimiyah berakhir. Dan membentuk dinasti Ayyubiyah serta merubah orientasinya dari paham syi’ah ke sunni.

Khalifah Fatimiyah berakhir pada tahun 567 H / 1117 M. Untuk mengantipasi perlawanan dari kalangan Fatimiyah, Salah al-Din membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan militer. Yang kini bangunan benteng tersebut masih berdiri kokoh di kawasan pusat Mishral qadim (Mesir lama) yang terletak tidak jauh dari Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di Qatamiyah.

F. Penutup.

Daulah Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya, daulah ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan daulah Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi.

Dalam masa pemerintahannya, Dinasti Fatimiyah sangat konsern dengan pengembangan paham Syi’ah Isma’iliyah. Untuk kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintahan dan warga masyarakat untuk menganut paham tersebut. Upaya ini cukup berhasil yang ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bersedia menerimanya meskipun berasal dari non muslim.

Kemunduran daulah Fatimiyah dikarenakan tidak efektifnya kekuasaan pemerintah dikarenakan pra khalifah hanya sebagai raja boneka sebab roda pemerintah didominasi oleh kebijakan para wazir sementara khalifah hanya hidup menikmati kekuasaannya didalam istana yang megah.

Sumber :
http://makalahmajannaii.blogspot.com/

Wednesday, 19 March 2014

Not Angka Lagu When I was Your Man - Bruno Mars

Not Angka Lagu When I was Your Man - Bruno Mars - Penyanyi yang satu ini memiliki suara khas dan lagu - lagu yang sangat terkenal. Salah satunya adalah when i was your man. Bagi yang ingin belajar notasinya silahkan lihat dibawah ini.


Silahkan dicoba - Not Angka Lagu When I was Your Man - Bruno Mars

Monday, 17 March 2014

PERMAINAN JELUNGAN




Apa itu Jelungan ???? Permainan jelungan ini mungkin saja baru pertama kali anda dengarkan, atau mungkin anda pernah mendengar tetapi tidak tahu bagaimana bentuk dan cara permainannya. Dan jugan mungkin masih banyak juga diantara kita yang tahu tentang permainan jelungan ini. Bagaimanapun jugan permainan jelungan ini harus tetap kita lestarikan, karena jelungan merupakan salah satu permainan

Thursday, 13 March 2014

Not Angka Lagu Kaulah Kamuku - Fatin Shidqia ft Mikha Angelo

Not Angka Lagu Kaulah Kamuku - Fatin Shidqia ft Mikha Angelo - Fatin dan Mikha mengeluarkan single baru yang berjudul Kaulah kamuku. Lagu ini sangat digemari para pendengar musik Indonesia. Bagi yang ingin mempelajari not angkanya silahkan lihat dibawah ini.



Silahkan dicoba. Angka yang dicoret adalah Tuts Hitam - Not Angka Lagu Kaulah Kamuku - Fatin Shidqia ft Mikha Angelo

Wednesday, 12 March 2014

Sejarah Berdirinya Dinasti Ayyubiyah

Sejarah Berdirinya Dinasti Ayyubiyah

Berdirinya dinasti Al-ayyubiyah

Bani Ayyubiyah merupakan keturunan Ayyub suku Kurdi. Pendiri dinasti ini adalah Salahuddin Yusuf al-Ayyubi putra dari Najamuddin bin Ayyub. Pada masa Nuruddin Zanki (Gubernur Suriah dari bani Abbasiyah), Salahuddin diangkat sebagai kepala garnisum di Balbek.

Kehidupan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi penuh dengan perjuangan dan peperangan. Semua itu dilakukan dalam rangka menunaikan tugas negara untuk memadamkan sebuah pemberontakan dan juga dalam menghadapi tentara salib.

Perang yang dilakukannya dalam rangka untuk mempertahankan dan membela agama. Selain itu Salahuddin Yusuf al-Ayyubi juga seorang yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap umat agama lain, hal ini terbukti:

  • Ketika beliau menguasai Iskandariyah ia tetap mengunjungi orang-orang kristen
  • Ketika perdamaian tercapai dengan tentara salib, ia mengijinkan orang-orang kristen berziarah ke Baitul Makdis.

Keberhasilan beliau sebagai tentara mulai terlihat ketika ia mendampingi pamannya Asaduddin Syirkuh yang mendapat tugas dari Nuruddin Zanki untuk membantu Bani Fatimiyah di Mesir yang perdana menterinya diserang oleh Dirgam. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berhasil mengalahkan Dirgam, sehingga beliau dan pamannya mendapat hadiah dari Perdana Menteri berupa sepertiga pajak tanah Mesir. Akhirnya Perdana Menteri Syawar berhasil menduduki kembali jabatannya pada tahun 1164 M.

Tiga tahun kemudian, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi kembali menyertai pamannya ke Mesir. Hal ini dilakukan karena Perdana Menteri Syawar bersekutu/ bekerjasama dengan Amauri yaitu seorang panglima perang tentara salib yang dulu pernah membantu Dirgam. Maka terjadilah peperangan yang sangat sengit antara pasukan Salahuddin dan pasukan Syawar yang dibantu oleh Amauri. Dalam. Dalam peperangan tersebut pasukan Salahuddin berhasil menduduki Iskandariyah, tetapi ia dikepunt dari darat dan laut oleh tentara salib yang dipimpin oleh Amauri. Akhirnya peperangan ini berakhir dengan perjanjian damai pada bulah Agustus 1167 M, yang isinya adalah sebagai berikut:

  • Pertukaran tawanan perang
  • Salahuddin Yusuf al-Ayyubi harus kembali ke Suriah
  • Amauri harus kembali ke Yerusalem
  • Kota Iskandariyah diserahkan kembali kepada Syawar.

Pada tahun 1169, tentara salib yang dipimpin oleh Amauri melanggar perjanjian damai yang disepakati dahulu yaitu Dia menyerang Mesir dan bermaksud untuk menguasainya. Hal itu tentu saja sangat membahayakan keadaan umat islam di Mesir, karena:

  • Mereka banyak membunuh rakyat di Mesir
  • Mereka berusaha menurunkan Khalifah al-Adid dari jabatannya

Khalifah al-Addid mengangkat Asaduddin Syirkuh sebagai Perdana Menteri Mesir pada tahun 1169 M. ini merupakan pertama kalinya keluarga al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri, tetapi sayang beliau menjadi Perdana Menteri hanya dua bulan karena meninggal dunia. Khalifal al-Adid akhirnya mengangkat Salahuddin Yusuf al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri menggantikan pamannya Asaduddin Syirkuh dalam usia 32 tahun. Sebagai Perdana Menteri beliau mendapati gelah al-Malik an-Nasir artinya penguasa yang bijaksana.

Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimah) yang terakhir wafat pada tahun 1171 M, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penyh untuk menjalankan peran keagamaan dan politik. Maka sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai berkuasa hingga sekitar 75 tahun lamanya.

Penguasa-penguasa Dinasti Al-Ayyubiah


Selama lebih kurang 75 tahun dinasti Al-Ayyubiyah berkuasa, terdapat 9 orang penguasa yakni sebagai berikut:

  • Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)
  • Malik Al-Aziz Imaduddin (1193-1198 M)
  • Malik Al-Mansur Nasiruddin (1198-1200 M)
  • Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
  • Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
  • Malik Al-Adil Sifuddin, pemerintahan II (1238-1240 M)
  • Malik As-Saleh Najmuddin (1240-1249 M)
  • Malik Al-Mu’azzam Turansyah (1249-1250 M)
  • Malik Al-Asyraf Muzaffaruddin (1250-1252 M)

Dalam uraian berikut akan dibahas mengenai penguasa-penguasa yang menonjol, yaitu:

  • Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)
  • Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
  • Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)

1. Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)

Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi tidak hanya dikenal sebagai seorang panglima perang yang gagah berani dan ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, beliau adalah seorang yang sangat memperhatikan kemajuan pendidikan. Salah satu karya monumental yang disumbangkannya selama beliau menjabat sebagai sultan adalah bangunan sebuah benteng pertahanan yang diberi nama Qal’atul Jabal yang dibangun di Kairo pada tahun 1183 M.

Selain itu beliau juga merupakan salah seorang Sultan dari dinasti Ayyubiyah yang memiliki kemampuan memimpin. Hal ini diketahui dari cara Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi dalam mengangkat para pembantunya (Wazir) yang terdiri dari orang-orang cerdas dan terdidik. Mereka antara lain seperti Al-Qadhi Al-Fadhil dan Al-Katib Al-Isfahani. Sementara itu sekretaris pribadinya bernama Bahruddin bin Syadad, yang kemudian dikenal sebagai penulis Biografinya.

Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi tidak membuat suatu kekuasaan yang terpusat di Mesir. Beliau justru membagi wilayak kekuasaannya kepada saudara-saudara dan keturunannya. Hal ini mengakibatkan munculnya beberapa cabang dinast Ayyubiyah berikut ini:

  • Kesultanan Ayyubiyah di Mesir
  • Kesultanan Ayyubiyah di Damaskus
  • Keamiran Ayyubiyah di Aleppo
  • Kesultanan Ayyubiyah di Hamah
  • Kesultanan Ayyubiyah di Homs
  • Kesultanan Ayyubiyah di Mayyafaiqin
  • Kesultanan Ayyubiyah di Sinjar
  • Kesultanan Ayyubiyah di Hisn Kayfa
  • Kesultanan Ayyubiyah di Yaman
  • Keamiran Ayyubiyah di Kerak

Salahuddin Yusuf al-Ayyubi dianggap sebagai pembaharu di Mesir karena dapat mengembalikan mazhab sunni. Melihat keberhasilannya itu Khlaifah al-Mustadi dari Bani Abbasiyah memberi gelar kepadanya al-Mu’izz li Amiiril mu’miniin (penguasa yang mulia). Khalifah al-Mustadi juga memberikan Mesir, an-Naubah, Yaman, Tripoli, Suriah dan Maghrib sebagai wilayah kekuasaan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi pada tahun 1175 M. sejak saat itulah Salahuddin dianggap sebagai Sultanul Islam Wal Muslimiin (Pemimpin umat ilam dan kaum muslimin).

Di antara orang-orang yang iri dan melakukan pemberontakan terhadap Salahuddi Yusuf al-Ayyubi adalah sebagai berikut:

  • Pemberontakan yang dilakukan Nuruddin Zanki, ia memberontak karena kebesaran namanya tersaingi oleh Salahuddin Yusuf al-Ayyubi
  • Pemberontakan yang dilakukan Hijab (Kepala rumah tangga Khalifah al-Adid), ia memberontak karena merasa hak-haknya banyak dikurangi.
  • Pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Asassin yang dipimpin oleh Syakh Sinan karena merasa tersaingi.
  • Pemberontakan yang dilakukan Zanki, kelompok ini merupakan permbela Al-Malik as-Salih yang bersekongkol dengan al-Gazi (penguasa Mosul dan paman Malik as-Salih Ismail) yang beusaha menjatuhkan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi karena merasa tersaingi.

Perang melawan tentara salib yang pertama adalah melawan Amalric 1, taja Yerusalem, yang kedua melawan Baldwin IV (putra Amalric 1), yang ketiga melawan Raynald de Chatillon (penguasa benteng Karak di sebelah tidur laut mati), yang keempat melawan Raja Baldwin V sehingga kota-kota seperti Teberias, Nasirah, Samaria, Suweida, Beirut, Batrun, Akra, Ramalah, Gaza Hebron dan Baitul Maqdis berhasil dikuasai oleh Salahuddin Yusuf al-Ayyubi.

Selain Clement III, para penguasa Eropa yang membantu dalam perang melawan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi adalah:

  • Philip II, Raja Prancis
  • Rivhard I, The Lion Heart (Hati Singa), Raja Inggris
  • William, raja Sisilia
  • Frederick Barbafossa, Kaisar Jerman

Setelah perang melawan tentara salib selesai, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi memindahkan pusat pemerintahannya dari Mesir ke Damaskus, dan dia meninggal di sana pada tahun 1193 M dalam usia 57 tahun.



2. Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)

Sering dipanggil Al-Adil nama lengkapnya adalah al-Malik al-Adil saifuddin Abu Bakar bin Ayyub. Dari nama Sifuddin inilah tentara salib memberi julukan Saphadin. Beliau putra Najmuddin Ayyub yang merupakan saudara muda Salahuddin Yusuf al-Ayyubi.

Setelah kematian Salahuddin, Ia menghadapi pemberontakan dari Izzuddin di Mosul. Ia juga menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa ketika terjadi perselisihan diantara anak-anak Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yaitu al-Aziz dan  al-Afdal. Setelah kematian al-Aziz. al-Afdal berusaha meduduki jabatan Sultan, akan tetapi al-Adil beranggapan al-Afdal tidak pantas menjadi Sulatan. Akhirnya terjadilah peperangan antara keduanya, al-Adil nberhasil mengalahkan al-Afdal dan beliau menjadi Sultan di Damaskus.

Al-Adil merupakan seorang pemimpin pemerintahan danpengatur strategi yang berbakat dan efektif.

3. Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)

Nama lengkap al-Kamil adalah al-Malik al-Kamil Nasruddin Abu al-Maali Muhammad. Selain dipuja karena mengalahkan dua kali pasukan salib ia juga dicaci maki karena menyerahkan kembali kota Yerusalem kepada orang Kristen.

Al-Kamil adalah putra dari al-Adil. Pada tahun 1218 al-Kamil memimpin pertahanan menghdapi pasukan salib yang mengepung kota Dimyat (Damietta) dan kemudian menjadi Sulatan sepeninggal ayahnya. Pada tahun 1219, Ia hampir kehilangan takhtanya karena konserpasi kaum kristen koptik. Al-Kamil kemudian pergi ke Yaman untuk menghindari konspirasi itu, akhirnya konspirasi itu berhasil dipadamkan oleh saudaranya bernama al-Mu’azzam yang menjabat sebagai gubernur Suriah.

Pada bulan Februari tahun 1229 M, al-Kamil menyepakati perdamaian selama 10 tahun denga  Federick II, yang berisi antara lain:

  • Ia mngembalikan Yerusalem dan kota-kota suci lainnya kepada pasukan salib
  • Kaum muslimin dan yahudi dilarang memalsuki kota itu kecuali disekitar Masjidil Aqsa dan Majid Umar.

Al-Kamil meninggal dunia pada tahun 1238 M. Kedudukannya sebagai Sultan digantikan oleh Salih al-Ayyubi.



Berakhirnya dinasti Ayyubiyah


Runtuhnya Dinasti Ayyubiyah dimulai pada masa pemerintahan Sultan As-Salih. Setelah As-Salih meniggal pada tahun 1249 M, kaum Mamluk mengangkati estri As-Salih, Syajaratud Durr sebagai Sultanah. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Dinasti Ayyubiah di Mesir. Medkipun demikian dinasti Ayyubiyah masih berkuasa di Suriah. Pada tahun 1260 M. tentara Mongol hendak menyerbu Mesir. Komando tentara Islam dipegang oleh Qutuz, panglima perang Mamluk. Dalam pertempuran di Ain Jalut, Qutuz berhasil mengalahkan tentara Mongol dengan gemilang. Selanjutnya, Qutuz mengambil alih Kekuasaan Dinasti Ayyubiyah. Sejak itu, berakhirlah kekuasaan Dinasti Ayyubiyah.
Sumber :
http://vhianra.wordpress.com/

Friday, 7 March 2014

Peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945

Peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945

Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa dimulai dari "penculikan" yang dilakukan oleh sejumlah pemuda Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh dari perkumpulan "Menteng 31" terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 03.00. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,sampai dengan terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan.

Menghadapi desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota PETA mendukung rencana tersebut.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 di lapangan IKADA(yang sekarang telah menjadi lapangan Monas) atau di rumah Bung Karno di Jl.Pegangsaan Timur 56. Dipilih rumah Bung Karno karena di lapangan IKADA sudah tersebar bahwa ada sebuah acara yang akan diselenggarakan, sehingga tentara-tentara jepang sudah berjaga-jaga, untuk menghindari kericuhan, antara penonton-penonton saat terjadi pembacaan teks proklamasi, dipilihlah rumah Soekarno di jalan Pegangsaan Timur No.56. Teks Proklamasi disusun di Rengasdengklok, di rumah seorang Tionghoa, Djiaw Kie Siong. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Kamis tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya menemui Wikana dan Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur. Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta.

Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang "dipinjam" (tepatnya sebetulnya diambil) dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.

Latar Belakang

Pada waktu itu Soekarno dan Moh. Hatta, tokoh-tokoh menginginkan agar proklamasi dilakukan melalui PPKI, sementara golongan pemuda menginginkan agar proklamasi dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang. Selain itu, hal tersebut dilakukan agar Soekarno dan Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan pemuda khawatir apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.
Sebelumnya golongan pemuda telah mengadakan suatu perundingan di salah satu lembaga bakteriologi di Pegangsaan Timur Jakarta, pada tanggal 15 Agustus. Dalam pertemuan ini diputuskan agar pelaksanaan kemerdekaan dilepaskan segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang. Hasil keputusan disampaikan kepada Ir. Soekarno pada malam harinya tetapi ditolak oleh Soekarno karena merasa bertanggung jawab sebagai ketua PPKI.
Sumber :
http://wikipedia.org/

Wednesday, 5 March 2014

Boneka Lucu: Cara Membuat Kerajinan Tangan Boneka Lucu Sederhana

Kerajinan tangan - Ketrampilan Kerajinan Tangan - Boneka Lucu: Cara Membuat Kerajinan Tangan Boneka Lucu Sederhana - Jika anda ingin membuat kerajinan tangan dari kertas anda bisa melihat artikel sebelumnya yang berjudul kerajinan dari kertas: cara membuat kerajinan tangan bunga dari kertas. kali ini saya akan berbagi tutorial bagaimana cara membuat kerajinan boneka lucu, jangan kawatir kerajinan

Tuesday, 4 March 2014

Riwayat Hidup Syekh Nawawi al-Bantani

Riwayat Hidup Syekh Nawawi al-Bantani

Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi adalah ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten pada 1813. Ia layak menempati posisi sebagai tokoh utama Kitab Kuning Indonesia karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Ulama ini bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi.

Sejak kecil, ia telah diarahkan oleh ayahnya, K.H. Umar bin Arabi untuk menjadi seorang ulama. Ayahnya menyerahkan Nawawi kepada K.H. Sahal, ulama terkenal di Banten. Setelah belajar bersama K.H. Sahal, Nawawi belajar kepada K.H. Yusuf, seorang ulama besar Purwakarta.

Ayah Syekh Nawawi adalah seorang pejabat penghulu. Berdasarkan silsilahnya, ayah Syekh Nawawi merupakan keturunan kesultanan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy).

Ketika berusia 15 tahun, Nawawi pergi ke Mekkah bersama dua orang saudaranya untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung pulang ke Indonesia. Nawawi tetap tinggal di Mekkah. Ia memperdalam agama Islam kepada para ulama besar kelahiran Indonesia, seperti Imam Masjid Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.

Tiga tahun lamanya Nawawi menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah itu, ia pun kembali ke Indonesia. Lalu, ia mengajar di pesantren ayahnya. Namun di tanah air, ia tidak dapat mengembangkan ilmunya karena saat itu negara Indonesia memang sedang dijajah Belanda. Akhirnya, Nawawi kembali ke Mekkah dan tinggal di daerah Syi’ab ‘Ali.

Nawawi memiliki kecerdasan dan ketekunan yang luar biasa. Hal tersebut menjadikan Nawawi sebagai murid terpandang di Masjidil Haram. Ia akhirnya menjadi Imam Masjidil Haram untuk menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas yang telah berusia lanjut. Nawawi mendapat panggilan Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi.

Ia juga menjadi guru bagi siswa-siswa yang datang dari berbagai belahan dunia. Murid-murid Nawawi yang berasal dari Indonesia adalah K.H. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, K.H. Arsyad Thawil dari Banten, dan K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian menjadi ulama-ulama terkenal di Indonesia.

Syekh Nawawi juga giat menulis buku. Ia termasuk penulis yang banyak melahirkan karya. Ia banyak menulis kitab tentang persoalan agama. Paling tidak, 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf. Beberapa kalangan bahkan menyebutkan bahwa Nawawi telah menulis lebih dari 100 judul buku dari berbagai disiplin ilmu. Sebagian karya Syekh Nawawi diterbitkan di Timur Tengah. Dengan karya-karyanya ini, ia ditempatkan sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga kini. Selanjutnya, kitab-kitabnya itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan di Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga di Timur Tengah.

Nawawi pun dijuluki Imam Nawawi kedua. Nawawi pertama adalah yang menulis Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syahrul Muhadzdzab, Riyadhush Shalihin, dan lain-lain. Ia tetap dipanggil Syekh Nawawi (al-Bantani) bukan Imam Nawawi (ad-Dimasyqi).

Nama Syekh Nawawi pun termasuk salah satu ulama besar abad ke-14 H/19 M. Tentu ini berkat karya Nawawi yang tersebar luas dan ditulis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Berkat kemasyhurannya pula, ia mendapat gelar A’yan ‘Ulama al-Qarn ar-Ram ‘Asyar Li al-Hijrah, al-Imam al-Mullaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi: Mahaguru Ulama Indonesia
Karya Nawawi pun banyak masuk di Indonesia. Hal ini tentu berdampak pada perkembangan wacana keislaman di pesantren. Sejak 1888, kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Jika sebelumnya tidak ditemukan sumber referensi di bidang tafsir, ushul fiqh, dan hadits, sejak saat itu bidang keilmuan tersebut mulai dikaji. Perubahan ini juga tidak terlepas dari jasa tiga ulama Indonesia, yaitu Syekh Nawawi, Syekh Ahmad Khatib, dan Kiai Mahfuz Termas.

Karya-karya Nawawi memang sangat berpengaruh bagi pendidikan pesantren. Sampai tahun 1990, diperkirakan terdapat 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipergunakan di pesantren. Selain itu, 11 karya populer sering digunakan sebagai kajian di pesantren-pesantren.

Penyebaran karya Nawawi di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara pun makin memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Perlu diketahui, penyebaran karya Nawawi tersebut tidak terlepas dari jasa K.H. Hasyim Asy’ari, salah seorang murid Nawawi yang berasal dari Jombang. K.H. Hasyim Asy’ari-lah yang memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa.
Karya-karya Nawawi memang sangat berpengaruh bagi pendidikan pesantren. Sampai tahun 1990, diperkirakan terdapat 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipergunakan di pesantren. Selain itu, 11 karya populer sering digunakan sebagai kajian di pesantren-pesantren.
Penyebaran karya Nawawi di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara pun makin memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Perlu diketahui, penyebaran karya Nawawi tersebut tidak terlepas dari jasa K.H. Hasyim Asy’ari, salah seorang murid Nawawi yang berasal dari Jombang. K.H. Hasyim Asy’ari-lah yang memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa.
Karya-karya imam nawawi antara lain:


  • al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
  • al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
  • Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
  • BaÄ¥jah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
  • al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
  • Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi MuÄ¥immâh al-Dîn
  • Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
  • Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
  • Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
  • Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
  • al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
  • Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
  • Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
  • Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
  • Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
  • Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
  • Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
  • Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
  • Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
  • Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
  • Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
  • Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
  • Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
  • al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-ÃŽmâniyyah
  • ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
  • Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
  • Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
  • al-NaÄ¥jah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
  • Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
  • Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
  • al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
  • al-Riyâdl al-Fauliyyah
  • Mishbâh al-Dhalâm’ala MinÄ¥aj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
  • Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
  • al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
  • Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
  • al-Durrur al-BaÄ¥iyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
  • Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.[4]


Karya tafsirnya, al-Munîr, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain, karya Imâm Jalâluddîn al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang sangat terkenal itu. Sementara Kâsyifah al-Sajâ syarah merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya beliau lebih praktis ketimbang matan yang dikomentarinya. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Akidah misalnya Tîjân al-Darâry, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majîd. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munâjah, Niĥâyah al-Zain, Kâsyifah al-Sajâ. Adapun Qâmi’u al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd dan Minhâj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqih karya beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa, yaitu Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain. Hampir semua pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama di Bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci. Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad. Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya beliau, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau.
Berkat kepakarannya, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut Saudi Arabia. Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.
Selain mempunyai gelar dan karya-karya yang luar biasa, imam nawawi juga mempunyai banyak murid yang menjadi ulama’ terkenal di Indonesia, di antaranya:


  • KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kelak bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
  • KH Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
  • KH Mahfudh at-Tarmisi, Tremas, Jawa Timur.
  • KH Asy’ari, Bawean, yang kemudian diambil mantu oleh Syekh Nawawi dinikahkan dengan putrinya, Nyi Maryam.
  • KH Nahjun, Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, yang dijadikan mantunya (cucu).
  • KH Asnawi, Caringin, Labuan (kelak memimpin Sarekat islam di Banten).
  • KH Ilyas, Kragilan, Serang.
  • KH Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang.
  • KH Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta.
  • KH Mas Muhammad Arsyad Thawil, Tanara, Serang, yang kemudian dibuang Belanda ke Manado, Sulawesi Utara, karena peristiwa Geger Cilegon.


Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib ‘Ali, sebuah kawasan di pinggiran Mekkah, pada 25 Syawal 1314 H/1879 M. Ia dimakamkan di Ma’la, Arab Saudi, dekat makam Khadijah binti Khuwailid. Beberapa tahun setelah wafat, pemerintah Kerajaan Saudi berniat memindahkan makam beliau, namun para petugas berwenang segera mengurungkan niatnya. Hal ini karena jenazah Syekh Nawawi al-Bantani dan kain kafannya terlihat masih utuh. Jika pergi ke Mekkah, kita masih bisa berziarah ke makam beliau, di pemakaman umum Ma’la.

Sumber :
http://verdiindrasatria.blogspot.com/
http://serunaihati.blogspot.com/

Sunday, 2 March 2014

Riwayat Hidup Syekh Abdul Qadir Jaelani

Riwayat Hidup Syekh Abdul Qadir Jaelani

Syekh Abdul Qadir Jaelani atau Abd al-Qadir al-Gilani adalah orang Kurdi atau orang Persia ulama sufi yang sangat dihormati oleh ulama Sunni. Syekh Abdul Qadir dianggap wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum Muslim dari anak benua India.Di antara pengikut di Pakistan dan India, ia juga dikenal sebagai Ghaus-e-Azam. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H, 1077 M selatan Laut Kaspia yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran.


Kelahiran, Silsilah dan Nasab

Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts al A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani Amoli. Riwayat pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama. Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a sebagi berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu". Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut :

Dari Ayahnya(Hasani):
 Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam

Dari ibunya(Husaini):
Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam


Karya

Imam Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah."

Karya karyanya  :

  • Tafsir Al Jilani
  • al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
  • Futuhul Ghaib.
  • Al-Fath ar-Rabbani
  • Jala' al-Khawathir
  • Sirr al-Asrar
  • Asror Al Asror
  • Malfuzhat
  • Khamsata "Asyara Maktuban
  • Ar Rasael
  • Ad Diwaan
  • Sholawat wal Aurod
  • Yawaqitul Hikam
  • Jalaa al khotir
  • Amrul muhkam
  • Usul as Sabaa
  • Mukhtasar ulumuddin


Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.


Dasar Pemikiran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."

Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman. Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau. Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyayikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi".

Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidahnya ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.)

4 golongan manusia menurut syekh abdul qadir al jailani :

1. Manusia yang tidak mempunyai lisan dan hati, senang berbuat maksiat, menipu serta dungu. Berhati-hatilah terhadap mereka dan jangan berkumpul dengannya, karena mereka adalah orang-orang yang mendapat siksa.

2. Manusia yang mempunyai lisan, tapi tidak mempunyai hati. Ia suka membicarakan tentang hikmah atau ilmu, tapi tidak mau mengamalkannya. Ia mengajak manusia ke jalan Allah Swt. tapi ia sendiri justru lari dari-Nya. Jauhi mereka, agar kalian tidak terpengaruh dengan manisnya ucapannya, sehingga kalian terhindar dari panasnya kemaksiatan yang telah dilakukannya dan tidak akan terbunuh oleh kebusukan hatinya.

3. Manusia yang mempunyai hati, tapi tidak mempunyai ucapan (tidak pandai berkata-kata). Mereka adalah orang-orang yang beriman yang sengaja ditutupi oleh Allah Swt. dari makhluk-Nya, diperlihatkan kekurangannya, disinari hatinya, diberitahukan kepadanya akan bahaya berkumpul dengan sesama manusia dan kehinaan ucapan mereka. Mereka adalah golongan waliyullah (kekasih Allah) yang dipelihara dalam tirai Ilahi-Nya dan memiliki segala kebaikan. Maka berkumpullah dengan dia dan layanilah kebutuhannya, niscaya kamu juga akan dicintai oleh Allah Swt.

4. Manusia yang belajar, mengajar dan mengamalkan ilmunya. Mereka mengetahui Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah Swt. memberikan ilmu-ilmu asing kepadanya dan melapangkan dadanya agar mudah dalam menerima ilmu. Maka takutlah untuk berbuat salah kepadanya, menjauhi serta meninggalkan segala nasihatnya.



Beberapa kisah teladan perjalanan hidup Syeh Abdul Qadir Al-Jailani 


Mengais Sisa-sisa Makanan Karena Lapar

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata dalam kitabnya Dzailu Thabaqatil Hanabilah,I:298, tentang  biografi Imam Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah (wafat tahun 561 H.), “Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan yang menimpaku karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad membuatku tidak makan selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untukku makan.

Suatu hari, karena saking laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa ku makan. Tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya,maka aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena mereka lebih membutuhkan.

Aku pulang dan berjalan di tengah kota. Tidaklah aku melihat sisa makanan yang terbuang, melainkan ada yang mendahuluiku mengambilnya. Hingga, aku tiba di Masjid Yasin di pasar minyak wangi di Baghdad. Aku benar-benar kelelahan dan tidak mampu menahan tubuhku. Aku masuk masjid dan duduk di salah satu sudut masjid. Hampir saja aku menemui kematian. Tib-tiba ada seorang pemida non Arab masuk ke masjid. Ia membawa roti dan daging panggang. Ia duduk untuk makan. Setiap kali ia mengangkat tangannya untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, maka mulutku ikut terbuka, karena aku benar-benar lapar. Sampai-sampai, aku mengingkari hal itu atas diriku. Aku bergumam, “Apa ini?” aku kembali bergumam, “Disini hanya ada Allah atau kematian yang telah Dia tetapkan.”

Tiba-tiba pemuda itu menoleh kepadaku, seraya berkata, “Bismillah, makanlah wahai saudaraku.” Aku menolak. Ia bersumpah untuk memberikannya kepadaku. Namun, jiwaku segera berbisik untuk tidak menurutinya. Pemuda itu bersumpah lagi. Akhirnya, akupun mengiyakannya. Aku makan dengantidak nyaman. Ia mulai bertanya kepadaku, “Apa pekerjaanmu? Dari mana kamu berasal? Apa julukanmu?” Aku menjawab, “Aku orang yang tengah mempelajari fiqih yang berasal dari Jailan bernama Abdul Qadir. Ia dikenal sebagai cucu Abdillah Ash-Shauma ‘I Az-Zahid?” Aku berkata, “Akulah orangnya.”

Pemuda itu gemetar dan wajahnya sontak berubah. Ia berkata, “Demi Allah, aku tiba di Baghdad, sedangkan aku hanya membawa nafkah yang tersisa milikku. Aku bertanya tentang dirimu, tetapi tidak ada yang menunjukkanku kepadamu. Bekalku habis. Selama tiga hari ini aku tidak mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu yang ada padaku. Bangkai telah halal bagiku (karena darurat). Maka, aku mengambil barang titipanmu, berupa roti dan daging panggang ini. Sekarang, makanlah dengan tenang. Karena, ia adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu, yang sebelumnya kamu adalah tamuku.”

Aku berkata kepadanya, “Bagaimana ceritanya?” Ia menjawab, “Ibumu telah menitipkan kepadaku uang 8 dinar untukmu. Aku menggunakannya karena terpaksa. Aku meminta maaf kepadamu.” Aku menenangkan dan menenteramkan hatinya. Aku memberikan sisa makanan dan sedikit uang sebagai bekal. Ia menerima dan pergi.”


Berguru Kepada Para Ulama Besar

Syaikh al-Hamdani berkata, “Wahai Abdul Qadir, sesungguhnya aku telah melihat bahwa kelak engkau akan duduk di tempat yang paling tinggi di Baghdad, dan pada saat itu engkau akan berkata, "Kakiku ada di atas pundak para wali.”

Selain berguru kepada Syaikh Hamdani, Abdul Qadir bertemu dengan Syaikh Hammad ad-Dabbas. Iapun berguru pula kepadanya. Dari Syaikh Hammad, Abdul Qadir mendapatkan ilmu Tariqah. Adapun akar dari tariqahnya adalah Syari’ah. Dalam taiqahnya itu beliau mendekatkan diri pada Allah dengan doa siang malam melalui dzikir, shalawat, puasa sunnah, zakat maupun shadaqah, zuhud dan jihad, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri.

Kemudian Syaikh Abdul Qadir berguru pada al Qadi Abu Said al Mukharimi. Di Babul Azaj, Syaikh al Mukharimi mempunyai madrasah kecil. Karena beliau telah tua, maka pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada Abdul Qadir. Di situlah Syaikh Abdul Qadir berdakwah pada masyarakat, baik yang muslim maupun non-muslim.

Dan dari Syaikh al Mukharimi itulah Syaikh Abdul Qadir menerima khirqah (jubah ke-sufi-an). Khirqoh itu secara turun-temurun telah berpindah tangan dari beberapa tokoh sufi yang agung. Di antaranya adalah Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Siri as-Saqati, Syaikh Ma’ruf al Karkhi, dan sebagainya.


Kesaksian Para Syaikh

Syaikh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syaikh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syaikh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, â€Å“Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!

Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syaikh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan, ‘Kakiku ada di atas pundak para Wali.”

Syaikh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syaikh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah;

1) Syaikh Ma’ruf al Karkhi,
2) Imam Ahmad ibn Hanbal,
3) Syaikh Bisri al Hafi,
4) Syaikh Mansur ibn Amar,
5) Syaikh Junaid al-Baghdadi,
6) Syaikh Siri as-Saqoti,
7) Syaikh Abdullah at-Tustari, dan
8) Syaikh Abdul Qadir Jailani.”

Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syaikh Muhammad ash-Shanbaki bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syaikh Abdul Qadir Jailani?”
Maka Syaikh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”

Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad ra. (1044-1132 H), dalam kitabnya “Risalatul Mu’awanah” menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syaikh Abdul Qadir Jailani sebagai suri-teladannya.

Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda.
Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah.
Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu ataupun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi.
Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.

Dalam hal ini, contohnya adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syaikh Abdul Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikitpun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya.Ini membuktikan bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karamah.

Hafidz al Barzali, mengatakan, “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah seorang ahli fiqih dari madzhab Hanbali dan Syafi’i sekaligus, dan merupakan Syaikh (guru besar) dari penganut kedua madzhab tersebut. Dia adalah salah satu pilar Islam yang doa-doanya selalu makbul, setia dalam berdzikir, tekun dalam tafakur dan berhati lembut. Dia adalah seorang yang mulia, baik dalam akhlak maupun garis keturunannya, bagus dalam ibadah maupun ijtihadnya.”

Abdullah al Jubba’i mengatakan, “Syaikh Abdul Qadir Jailani mempunyai seorang murid yang bernama Umar al Halawi. Dia pergi dari Baghdad selama bertahun-tahun, dan ketika ia pulang, aku bertanya padanya: “Kemana saja engkau selama ini, ya Umar?” Dia menjawab: “Aku pergi ke Syiria, Mesir, dan Persia. Di sana aku berjumpa dengan 360 Syaikh yang semuanya adalah waliyullah. Tak satu pun di antara mereka tidak mengatakan: “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah Syaikh kami, dan pembimbing kami ke jalan Allah.”


Kisah Yang terkenal

Pada suatu malam ketika beliau sedang bermunajat kepada Allah yang panjang. Tiba muncullah seberkas cahaya terang. Bersamaa dengan itu, terdengar suara, “Wahai Syaikh, telah kuterima ketaatanmu dan segala pengabadian dan penghambaanmu, maka mulai hari ini kuhalalkan segala yang haram dan kubebaskan kau dari segala ibadah”.

Abdul Qadir Jailanai mengambil sandalnya dan melemparkan ke cahaya tersebut dan menghardik “Pergilah kau syetan laknatullah!”.

Cahaya itu hilang lalu terdengar suara “Dari manakah kau tau aku adalah syetan?,”

Syaikh Abdul Qadir menjawab, "Aku tahu kau syetan adalah dari ucapanmu. Kau berkata telah menghalalkan yang haram dan membebaskanku dari syariat, sedangkan Nabi Muhammad SAW saja kekasih Allah masih menjalankan syariat dan mengharamkan yang haram".

Syetan berkata lagi, "Sungguh keluasan ilmumu telah menyelamatkanmu".

Syaikh Abdul Qadir berkata, "Pergilah kau syetan laknattullah! Aku selamat karena rahmat dari Alah Swt. bukan karena keluasan ilmuku".


Pertemuan Jailani dengan al-Hamadani

Abu Sa'id Abdullah ibn Abi Asrun (w. 585 H.), seorang imam dari Mazhab Syafi'i, berkata, Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan Ibn al-Saqa, seorang pelajar di Madrasah Nizamiyyah, dan kami sering mengunjungi orang-orang saleh. Aku mendengar bahwa di Baghdad ada orang bernama Yusuf al-Hamadani yang dikenal dengan sebutan al-Ghawts. Ia bisa muncul dan menghilang kapan saja sesuka hatinya.

Maka aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn al-Saqa dan Syaikh Abdul Qadir Jailani, yang pada waktu itu masih muda. Ibn al-Saqa berkata, Apabila bertemu dengan Yusuf al-Hamadani, aku akan menanyakan suatu pertanyaan yang jawabannya tak akan ia ketahui.

Aku menimpali, Aku juga akan menanyakan satu pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang akan ia katakan.

Sementara Syaikh Abdu-Qadir Jailani berkata, Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan suatu pertanyaan kepada seorang suci seperti Yusuf al-Hamadani Aku akan menghadap kepadanya untuk meminta berkah dan ilmu ketuhanannya.

Maka, kami pun memasuki majelisnya. Ia sendiri terus menutup diri dari kami dan kami tidak melihatnya hingga beberapa lama. Saat bertemu, ia memandang kepada Ibn al-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberitahu namanya sebelumnya, Wahai Ibn al-Saqa, bagaimana kamu berani menanyakan pertanyaan kepadaku dengan niat merendahkanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini! dan ia melanjutkan, Aku melihat api kekufuran menyala di hatimu.

Kemudian ia melihat kepadaku dan berkata, "Wahai hamba Allah, apakah kamu menanyakan satu pertanyaan kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang bersedih karena tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku.

Kemudian ia memandang kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani, mendudukkannya bersebelahan dengannya, dan menunjukkan rasa hormatnya. Ia berkata, "Wahai Abdul Qadir, kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu yang tulus kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di kota Baghdad. Kau akan berbicara, memberi petunjuk kepada orang-orang, dan mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali. Dan aku hampir melihat di hadapanku setiap wali pada masamu memberimu hak lebih tinggi karena keagungan kedudukan spiritualmu dan kehormatanmu".

Ibn Abi Asrun melanjutkan, Kemasyhuran Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan Syaikh al-Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika ia mengatakan, "Kedua kakiku berada di atas leher semua wali". Syaikh Abdul Qadir menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada setiap orang pada masanya menuju tujuan akhir mereka.

Berbeda keadaannya dengan Ibn Saqa. Ia menjadi ahli hukum yang terkenal. Ia mengungguli semua ulama pada masanya. Ia sangat suka berdebat dengan para ulama dan mengalahkan mereka hingga Khalifah memanggilnya ke lingkungan istana. Suatu hari Khalifah mengutus Ibn Saqa kepada Raja Bizantium, yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Nasrani untuk berdebat dengannya. Ibn al-Saqa sanggup mengalahkan mereka semua. Mereka tidak berdaya memberi jawaban di hadapannya. Ia mengungkapkan berbagai argumen yang membuat mereka tampak seperti anak-anak sekolahan.

Kepandaiannya mempesona Raja Bizantium itu yang kemudian mengundangnya ke dalam pertemuan pribadi keluarga Raja. Pada saat itulah ia melihat putri raja. Ia jatuh cinta kepadanya, dan ia pun melamar sang putri untuk dinikahinya. Sang putri menolak kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa harus menerima agamanya. Ia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk agama sang putri, yaitu Nasrani. Setelah menikah, ia menderita sakit parah sehingga mereka melemparkannya ke luar istana. Jadilah ia peminta-minta di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang meski tak seorang pun memberinya.
Sumber :
http://cecep1986.blogspot.com/

Riwayat Hidup KH Raden Asnawi

Riwayat Hidup KH Raden Asnawi

Riwayat Hidup KH Raden Asnawi 

Berjalan Kaki 18 Km. ke Gunung Muria untuk Mengajar
Kudus adalah daerah yang terkenal dengan nama kota Kretek dan kota Santri dalam wilayah propinsi Jawa Tengah. Kota ini dibangun oleh Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq) dengan rentetan historisitas yang berpusat pada kerajaan Islam pertama di Jawa (Demak). Hal ini ditengarai dari inskripsi batu nisan yang ada di atas mihrab Masjid al-Aqsha Menara Kudus.

Di belakang Masjid al-Aqsa Menara Kudus inilah, di Komplek Makam Sunan Kudus, hampir selalu ada saja yang mengaji. Baik yang dengan tujuan untuk berziarah, maupun santri yang niat tabarrukan agar diberi kemudahan dalam berbagai urusan. Di antara deretan nisan di komplek makam tersebut, terdapat makam KH Raden Asnawi. Salah seorang ulama keturunan ke-14 Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 KH Mutamakkin Kajen, Margoyoso, Pati.

Kelahiran 
Pada hari Jum’at Pon, kisaran tahun 1861 M (1281 H) di daerah Damaran lahir seorang bayi yang diberi nama Raden Ahmad Syamsyi. Putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah ini lahir di sebuah rumah milik Mbah Sulangsih. Tempat tinggal Mbah Sulang begitu ia akrab disapa menjadi ramai didatangi oleh sanak saudara dan tetangga sekitar lantaran kelahiran anak pembarep. Sudah menjadi tradisi masyarakat Kudus, setiap ada babaran (melahirkan bayi), tetangga ikut merasakan bahagia dengan menjenguk ibu dan anak yang dilahirkan.

H. Abdullah Husnin terkenal seorang pedagang konfeksi yang tergolong besar. Memang sudah menjadi hal yang lumrah, rata-rata penduduk di desa ini mempunyai penggautan (kerja) di bidang konfeksi. Potensi ekonomi masyarakatnya mengandalkan kreatifitas memproduksi kain menjadi pakain, kerudung, rukuh, dan lain sebagainya.

Sejak kecil, Ahmad Syamsyi diasuh oleh kedua orang tuanya, dikenalkan pada pelajaran agama dan tata cara bermasyarakat menurut ajaran-ajaran Islam. Selain itu, Ahmad Syamsyi juga diajarkan berdagang sejak dini. Kemudian semenjak usia 15 tahun, pada kisaran tahun 1876 M. orang tuanya memboyong ke Tulungagung Jawa Timur. Di sana H Abdullah Husnin mengajari anaknya berdagang pagi hingga siang.

Keinginannya mencetak putra sholih mengantarkan Husnin untuk mengikutsertakan Syamsi mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari Tulungagung. Waktu mengaji adalah sepulang dari berdagang mulai sore hingga malam. Tidak diketahui apa kitab yang ditekuni kala itu. Selain mengaji di Tulungagung, Ahmad Syamsi kemudian melanjutkan mengaji kepada KH. Irsyad Naib Mayong, Jepara.

Pergantian Nama dan Mengajar Agama
Sewaktu umur 25 tahun, kira-kira pada tahun 1886 M. Ahmad Syamsi menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, KHR. Asnawi mulai mangajar dan melakukan tabligh agama.

Kira-kira umur 30 tahun KHR. Asnawi diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu KHR. Asnawi juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu KHR. Asnawi telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.

Sepulangnya dari haji pertamanya, nama Raden Ahmad Syamsi diganti dengan Raden Haji Ilyas. Pergantian nama sepulang dari tanah suci sudah menjadi hal yang wajar, namun nama Ilyas juga tidak menjadi nama hingga wafatnya. Nama Ilyas ini kemudian diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi, setelah pulang dari menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya.

Selanjutnya nama Asnawi ini yang menjadi terkenal dalam pengembanagan Ahlussunnah Waljama’ah di daerah Kudus dan sekitarnya. Dari sinilah kharismanya muncul dan masyarakat memanggilnya dengan sebutan Kiai. Sehingga nama harum yang dikenal masyarakat luas menyebut dengan Kiai Haji Raden Asnawi (KHR. Asnawi).

Sebagaimana lazimnya, sebutan Kiai ini tidaklah muncul begitu saja, atau dedeklarasikan dalam sebuah peristiwa, namun ia diperoleh melalui pengakuan masyarakat yang diajarkan agama secara berkesinambungan sejak KHR. Asnawi berumur 25 tahun. Pada setiap Jumu’ah Pahing, sesudah shalat Jumu’ah, KHR. Asnawi mengajar Tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak + 18 Km dari kota Kudus, dan jalan pegunungan yang menanjak ini ditempuhnya dengan berjalan kaki. KHR. Asnawi juga selalu berkeliling mengajar dari masjid ke masjid sekitar kota saat shalat Shubuh.

Secara khusus KHR. Asnawi juga mengadakan pengajian rutin, seperti Khataman TafsirJalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan al-Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai KHR. Asnawi wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh al-Hafidh KHM. Arwani Amin sampai khatam.

Kegiatan tabligh KHR. Asnawi untuk menyebarkan akidah Ahlusunnah wal Jamaah tidaklah terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, melainkan juga menjangkau ke daerah lain seperti Demak, Jepara, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora.

Di antara ilmu yang diutamakan oleh KHR. Asnawi adalah Tauhid dan Fiqih. Karenanya, bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya, KHR. Asnawi hingga kini masih selalu diingat melalui karya populernya yang kini dikenal dengan “Shalawat Asnawiyyah.”  Selain itu karya Asnawi seperti Soal Jawab Mu’taqad Seket, Fasholatan Kyai Asnawi (yang disusun oleh KH. Minan Zuhri), Syi’ir Nasihat, Du’aul ‘Arusa’in, Sholawat Asnawiyyah dan syi’iran lainnya juga tetap diajarkan di pengajian-pengajian pesantren dan masjid-masjid hingga saat ini.

Mukim di Tanah Suci
Di Makkah, KHR. Asnawi tinggal di rumah Syeikh Hamid Manan (Kudus). Namun setelah menikahi Nyai Hj. Hamdanah (janda Almaghfurlah Syeikh Nawawi al-Bantani), KHR. Asnawi pindah ke kampung Syami’ah. Dalam perkawinannya dengan Nyai Hj. Hamdanah ini, KHR. Asnawi dikaruniai 9 putera. Namun hanya 3 puteranya yang hidup hingga tua. Yaitu H. Zuhri, Hj. Azizah (istri KH. Shaleh Tayu) dan Alawiyah (istri R. Maskub Kudus).

Selama bermukim di Tanah Suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, KHR. Asnawi masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Para Kyai Indonesia yang pernah menjadi gurunya adalah KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Mahfudz (Termas), KH. Nawawi (Banten) dan Sayid Umar Shatha.

Selain itu, KHR. Asnawi juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, di antara yang ikut belajar padanya, antara lain adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), KH. Bisyri Sansuri (Pati/Jombang), KH. Dahlan (Pekalongan), KH. Shaleh (Tayu pati), KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KHA. Mukhit (Sidoarjo). Di samping belajar dan mengajar agama Islam, KHR. Asnawi turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawan-kawannya yang lain.

Pada waktu bermukim ini, KHR. Asnawi pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu KHR. Asnawi bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan KHR. Asnawi dan Syeikh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi fatwanya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang keluarga KHR. Asnawi lupa masalah apa yang dibahas, meskipun sudah diberitahu).

Melihat tulisan dan jawaban KHR. Asnawi terhadap tulisan Syeikh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan KHR. Asnawi. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syeikh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KHR. Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada KHR. Asnawi dan diatur agar KHR. Asnawi nanti yang melayani mengeluarkan jamuan.

Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek ke rumah Syeikh Hamid Manan dan KHR. Asnawi sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana Asnawi?), “Asnawi? Hadza Huwa” (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk KHR. Asnawi yang sedang duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat KHR. Asnawi, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala KHR. Asnawi sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: “Sungguh saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapih”.

Madrasah, Masjid Menara dan Penjara
Saat menjenguk kampung halamannya, bersama kawan-kawannya KHR. Asnawi mendirikan Madrasah Madrasah Qudsiyyah (1916 M). Dan tidak berselang lama, KHR. Asnawi juga memelopori pembangunan Masjid Menara secara gotong royong. Malam hari para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya. Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itulah, terjadi huru-hara pada tahun 1918 H. Di mana KHR. Asnawi dan kawan-kawannya terpaksa menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah Belanda yang menghina Islam.

Di tengah-tengah umat Islam bergotong royong membangun Masjid Menara siang malam, orang-orang Cina malah mengadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Para Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam pun mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawai lewat depan masjid Menara, karena banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari.

Permintaan itu tidak digubris. Pawai tetap digelar. Ironisnya, dalam rentetan pawai itu, juga menampilkan adegan yang sangat menghina umat Islam. Di mana ada dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menyebutnya Cengge. Pawai Cina yang datang dari depan masjid Manara menuju selatan, itu pun berpapasan dengan santri-santri yang sedang bergotongroyong mengambil pasir dan batu dengan grobak dorong (songkro). Kedua pihak tidak ada yang mengalah. Hingga terjadi pemukulan terhadap seorang santri oleh orang Cina.

Pemukulan terhadap salah seorang santri ditambah adanya Cengge itulah, insiden Cina-Islam di Kudus yang dikenal dengan huru hara Cina, terjadi. Ejekan dan hinaan dari orang-orang Cina terus saja terjadi. Hingga orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan. Para Ulama memandang beralasan untuk mengadakan pembelaan, namun tidak sampai pada pembunuhan.

Ironisnya, dalam insiden tersebut, ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina. Dan tanpa sengaja, menyentuh lampu gas pom yang menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa.

Kejadian inilah yang berbuntut penangkapan terhadap KH. Asnawi dan rekannya KH. Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain, dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah. Mereka pun akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman 3 tahun.

Tidak sekali saja KHR. Asnawi di penjara. Pada zaman penjajahan Belanda, KHR. Asnawi  sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya tentang Islam serta menyisipkan ruh nasionalisme dalam pidatonya. Pun pada masa pendudukan Jepang. KHR. Asnawi pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok KHR. Asnawi dikepung oleh tentara Dai Nippon. KHR. Asnawi pun dibawa ke markas Kempetai di Pati.

Meski sering menghadapi ancaman hukuman, namun KHR. Asnawi tidak pernah berhenti berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan di dalam penjara sekalipun, KHR. Asnawi tetap melakukan amar ma’ruf nahi munkar. KHR. Asnawi tetap membuka pengajian di penjara. Banyak kemudian di antara para penjahat kriminal yang dipenjara bersamanya, kemudian menjadi murid KHR. Asnawi.

Pada masa-masa revolusi kemerdekaan terutama menjelang agresi militer Belanda ke-1, KHR. Asnawi mengadakan gerakan ruhani dengan membaca sholawat Nariyah dan do’a surat Al-Fiil. Tidak sedikit pemuda-pemuda yang tergabung dalam laskar-laskar bersenjata berdatangan meminta bekal ruhaniyah sebelum berangkat ke medan pertempuran melawan penjajah.

Larangan Berdasi dan Prinsip Perjuangan
Dalam memperjuangkan Islam, KHR. Asnawi memiliki pendirian yang teguh. Prinsip-prinsip hidupnya sangat keras dan watak perjuangnnya terkenal galak, sebab kala itu bangsa Indonesia sedang dirundung nestapa penjajahan kaum kafir. Keyakinan inilah yang dipeganginya sangat kokoh sekali. Bagi KHR. Asnawi, segala hal yang dilaksanakan oleh Belanda tidak boleh ditiru. Bahkan tidak segan-segan KHR. Asnawi memfatwakan hukum agama dengan sangat tegas, anti-kolonialisme, seperti mengharamkan segala macam bentuk tasyabbuh (menyerupai) perilaku para penjajah dan antek-anteknya.

Salah satu diantara fatwanya yang keras ini adalah larangan untuk memakai berdasi dan menghidupkan radio, termasuk menyerupai gaya jalan orang-orang kafir (Belanda dan China). Fatwa larangan berdasinya ini sangat terkenal, hingga suatu ketika KH Saifuddin Zuhri melepaskan dasi dan sepatunya ketika mengunjungi KHR. Asnawi. KH Saifuddin Zuhri kala itu sedang menjabat Menteri Agama, namun demi menghormati KHR. Asnawi, ia bertamu hanya dengan memakai sandal tanpa dasi.

Kemauan keras KHR. Asnawi agar Islam tetap eksis tanpa campur tangan penjajah kafir sudah menjadi pertaruhan jiwa dan raganya. KHR. Asnawi memadukan pola keulamaan dan gerakan taushiyah dengan pesan melaksanakan jihad atas pemberontakan bangsa kafir.

Pada kisaran tahun 1927 M. KHR. Asnawi membangun pondok pesantren di Desa Bendan Kerjasan Kudus, di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih (Langgar Dalem) dan dukungan dari para dermawan dan umat Islam. Pada tahun ini pula, Charles Olke Van Der Plas (1891-1977), seorang pegawai sipil di Hindia Belanda, pernah datang ke rumah KHR. Asnawi untuk meminta kesediaannya memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas KHR. Asnawi menolak penawaran tersebut.

Dalam pandangan KHR. Asnawi, jika dirinya diangkat sebagai penghulu, maka tidak akan lagi dapat bebas melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat. Beda halnya jika tetap menjadi orang partikelir, ia dapat berdakwah tanpa harus menanggung rasa segan (ewuh pakewuh).

Pada tahun 1924 M. KHR. Asnawi ditemui oleh KH Abdul Wahab Chasbullah Jombang untuk bermusyawarah guna membentengi pertahanan akidah Ahlussunah wal Jamaah dan menyetujui gagasan tamu yang pernah belajar kepadanya ini. Selanjutnya, bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H./31 Januari 1926 M. KHR. Asnawi turut membidani lahirnya jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).

Semasa hidupnya, KHR. Asnawi KH. Raden Asnawi telah berjasa besar bagi Islam dan bangsa Indonesia melalui keterlibatannya dalam organisasi pergerakan kemerdekaan. Selain itu, KHR. Asnawi juga menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional dari berbagai kalangan, seperti Semaun, H Agus Salim dan HOS. Cokroaminoto.

Syahadatain Terakhir
KHR. Asnawi berpulang ke rahmatullah pada Sabtu Kliwon, 25 Jumadil Akhir 1378 H. bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M. pukul 03.00 WIB. KHR. Asnawi meninggal dunia dalam usia 98 tahun, dengan meninggalkan 3 orang istri, 5 orang putera, 23 cucu dan 18 cicit (buyut).

Kepulangan ulama besar Kudus ke rahmatullah ini tidak terduga. Sebab satu minggu sebelum wafatnya KHR. Asnawi masih masih nampak segar bugar ketika turut bermusyawarah dalam muktamar NU XII di Jakarta.
Pukul 02.30 WIB Sabtu itu Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mengambil air wudlu. Setelah dari kamar mandi Asnawi dengan didampingi istrinya, Nyai Hj. Hamdanah, kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tidak berdaya. Dan dua kalimat syahadat (syahadatain/Asyhadu an laa ilaaha illallah wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah) adalah kalimat terakhir yang mengantarkan arwahnya ke rahmatullah.

Kabar wafatnya KH.R Asnawi disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat Jakarta lewat berita pagi pukul 06.00 WIB. Penyiaran itu atas inisiataif Menteri Agama RI KH Wahab Chasbullah yang ditelephon oleh HM. Zainuri Noor. (Disadur dari berbagai sumber oleh Syaifullah Amin)

Sumber :
http://andiismail.wordpress.com/